BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammadiyah
sering dijuluki sebagai organisasi islam pembaharu, atau gerakan tajdid.
Julukan ini tentu tidak datang dari dalam Muhammadiyah, melainkan dari para
pengamat dan pemerhati Muhammadiyah. Diantara indikator organisasi pembaharu,
menurut mereka, adalah karena organisasi ini berusaha untuk merujuk secara
langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan memahaminya secara utuh dan
komprehensif. Namun, akhir-akhir ini, ciri dan indikator itu sering
dipermasalahkan. Karena itu, predikat mujaddid yang diberikan kepada
Muhammadiyah merupakan sesuatu yang harus dikritisi.
Ketika
Muhammadiyah didirikan tahun 1912 atau sejak Majlis tarjih dibentuk pada tahun
1928, persoalan yang dihadapinya relative sangat sederhana dan kelihatannya
tidak beranjak dari pemurnian aqidah dan ibadah atau dalam masalah-masalah
khilafiyah. Itulah sebabnya, majlis ini diberi nama Majlis Tarjih. Tetapi dalam
perkembangannya sampai saat ini, persoalan-persoalan baru muncul kepermukaan
dan menuntut direspon oleh Muhammadiyah. Tentu, seiring dengan beragam
persoalan kontemporer, nama Majlis ini pun mengalami peerubahan atau
penambahan.
Berbagai
metode dan pendekatan itu digunakan oleh Muhammadiyah dimaksudkan untuk
merealisasikan Islam yang universal sebagai cirri gerakannya. Diyakini oleh
Muhammadiyah, bahwa sebagai sebuah agama, Islam memiliki kepentingan untuk
mendorong manusia untuk melakukan transformasi ke arah cita dan visi Islam.
Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya
yang “hadir dimana-mana” (omnipressence). Ini sebuah pandangan yang
mengakui bahwa “dimana-mana”, kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral
yang benar bagi tindakan manusia.
Peradaban
modern manusia yang semakin mengglobal akibat pesatnya kemajuan industri,
teknologi, dan informasi menuntut tidak saja kecerdasan nalar tetapi juga
kematangan dan kecerahan emosional dan spiritual dalam menyikapi, mencermati,
menyimak, dan mengevaluasi peradaban sehingga manusia tidak tercerabut dari
akar religiusitasnya. Umat Islam, sesungguhnya dapat memberikan responsi pada
modernitas secara positif. Sebagai agama universal dan kosmopolitan, Islam
memiliki karakter yang menjunjung tinggi pada harkat kemanusiaan dan kepedulian
sosial sebagai sesuatu yang selalu tetap dan abadi.
Sumber
ajaran Islam adalah al-Quran dan Sunnah, artinya segala persoalan kehidupan
harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut. Akan tetapi, hal itu memerlukan
kecerdasan akal untuk menggali dan menkontekstualisasikan secara tepat dengan
situasi dan kondisi yang berubah. Upaya reaktualisasi ajaran Islam, menjadi
niscaya karena secara doktrinal Islam bersifat universal dan rahmat bagi
seluruh alam. Al-Quran memang bersifat doktrin yang mutlak benar, tetapi
penafsiran dan pemahaman atasnya tidak bernilai mutlak benar semutlak benarnya
doktrin itu sendiri. Di sinilah makna tajdid menjadi tema penting.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang dan batasan masalah di atas maka masalah dalam makalah ini
dirumuskan sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud dengan tajdid?
2.
Bagaimanakah
Tajdid dalam Muhammadiyah?
3.
Apa
contoh Tajdid Muhammadiyah dalam kehidupan Modern?
C. Tujuan penulisan
Dalam
makalah ini, tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui definisi Tajdid.
2. Mengetahui Tajdid dalam Muhammadiyah.
3. Mengetahui contoh Tajdid Muhammadiyah dalam
kehidupan Modern.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tajdid
Secara
umum, pengertian tajdid seperti dikutip dari Wikipedia adalah sebagai berikut :
Kata “Tajdid” dimambil dari bahasa Arab yang berkata dasar
“Jaddada-Yujaddidu-Tajdiidan” yang artinya memperbarui. Kata ini kemudian
dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari Bid’ah, Takhayyul
dan Khurafat.
Gerakan ini diilhami dari Gerakan Wahabi di Arab Saudi dan Pemikiran Al-Afghani
yang dibuang di Mesir. Gerakan ini kemudian menjadi ruh dalam beberapa
Organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyyah dan Al-Irsyad juga Persatuan Islam
di Jawa. Gerakan ini pula pernah menjadi ruh perjuangan Tuanku Imam Bonjol
dalam menggerakkan kaum Paderi.
Gerakan ini kemudian mengalami Kanter dari Akademisi Jawa Kejawen yang kemudian menggabungkan diri dalam Budhi Oetomo dan Ulama Jawa yang bergabung dalam Nahdhatul Ulama. Meski gerakan ini kini sudah mulai melemah, namun
semangatnya kini terus diwariskan pada generasi berikutnya hingga muncullah Jaringan Islam Liberal
yang memiliki visi Tajdid ini meski kemudian ditentang oleh para Tokoh ummat
Islam yang aktif dalam Organisasi yang dulunya mengusung ruh Tajdid.
Selain
itu, seperti ditulis Aep Saepulloh D. Dalam artikelnya yang berjudul “Tajdid
al-Fiqh, Why Not?” mengungkapkan bahwa akhir – akhir ini
banyak sekali wacana tajdid yang diperdebatkan kembali. Menurutnya hal
ini dikarenakan dua hal yaitu Pertama, “kegerahan” sebagian kalangan
dengan fiqh yang selama ini dalam kacamata mereka– cenderung kaku, rigid dan
sudah kehilangan “ruh”nya. Untuk mengembalikan “ruh”nya inilah, kemudian mereka
menyodorkan beberapa ma’âlim pembaharuan dan rekonstruksi sebagaimana
terlihat dalam tulisan-tulisannya. Kedua, sebagai reaksi atas kepicikan
sebagian kelompok yang sudah “keterlaluan” dalam melihat fiqh; seolah fiqh
adalah benda kramat yang mampu menjawab semua tantangan dan persoalan kapanpun
sehingga karenanya tidak perlu adanya perubahan. Hanya saja, sayangnya kelompok
“pembaharu” ini terkadang lepas kendali, keluar dari koridor wacana yang
dibawanya, tajdîd.
Apabila
kita mencermati salah satu sabda Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Abu Daud,
Hakim dan Imam Baihaqi, bahwa setiap seratus tahun sekali, Allah akan mengutus
orang yang akan memperbaharui din (agama)-Nya, maka konsep tajdîd
adalah sesuatu yang sudah diprogramkan oleh Allah. Bahkan, kalau boleh
dikatakan, ia memang sesuatu yang diperintahkan. Apabila dalam konteks din
saja, harus ada gerakan tajdîd, maka apalagi dalam tataran fiqh yang
tentunya hanya merupakan salah satu partikel kecil dari din tersebut.
Namun persoalannya, tajdîd seperti apa yang dikehendaki? Apakah tajdîd
dalam pengertian rekonstruksi atau malah sebuah dekonstruksi (tabdîd, tahrîf)?
Untuk itu, mari kita samakan dahulu persepsi tentang tajdid ini.
Tajdîd (pembaharuan, renovasi) bukan berarti tabdîd,
tahrîf atau taghyîr. Untuk lebih memudahkan pengertian tajdîd
ini, penulis akan sodorkan sebuah analogi ringan. Apabila ada sebuah bangunan
kuno bersejarah atau sebuah rumah yang hendak ditajdîd (renovasi), maka
ada beberapa ciri penting dari usaha tajdîd ini: 1) tetap menjaga esensi
dari bangunan lama tersebut sesuai dengan ciri khas, tabiat dan modelnya. 2)
hanya memperbaiki bagian-bagian yang sudah rusak atau sudah lemah dan 3)
menambahkan aksesoris baru dengan tanpa merubah dan mengotak-atik ciri khas
atau esensi dari bangunan kuno tersebut. Aksesoris ini semisal halamannya,
kebunnya dan kebersihan atapnya. Hal ini dimaksudkan agar bangunan tersebut
dapat tetap indah dan makin nyaman dipandang, tetapi tentunya tidak
menghilangkan ciri keasliannya. Itulah tajdîd. Namun, apabila semua
bangunan kuno tadi dirobohkan, atau ciri-ciri khasnya dihilangkan dan diganti
dengan yang baru, maka ia bukan sebuah tajdîd, akan tetapi tabdîd,
tahrîf atau taghyîr.
Dari
uraian diatas secara jelas Aep Saepulloh D. Menyatakan bahwa tajdid merupakan
pembaruan dalam arti yaitu penegakan aturan agama islam sesuai dengan Al-
Qur’an dan Hadist Rosul sesuai dengan kondisi atau kejadian yang terjadi
sekarang ini tanpa meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya.
Dalam
wacana lain yang ditulis oleh Muhammad Ikhsan, Mahasiswa Pasca Sarjana
Program Studi Kajian Timur Tengah Dan Islam Kekhususan Kajian Islam Universitas
Indonesia Jakarta, tajdid dijabarkan sebagai berikut : Kata tajdid sendiri
secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang
seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika
bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya
adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau
dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan, Pembaharuan
agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia.
Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang
benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya
dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan
kekuasaan agama.
Pengertian
ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah
sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab
jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada
dasarnya memang adalah ajaran yang batil dan semakin lama semakin batil, akan
ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya
syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Sebabnya dasar
pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Adapun Syariat agama Yahudi atau Kristen –misalnya-,
keduanya tidak mungkin mengalami tajdid, sebab pijakan yang sesungguhnya
sudah tidak ada. Yang ada hanyalah “apa yang disangka” sebagai pijakan, padahal
bukan. Tidak mengherankan jika kemudian aliran Prostestan menerima “kemenangan”
akal dan sains atas agama, sebab gereja pada mulanya tidak menerimanya, sebab
teks-teks Injil tidak memungkinkan untuk itu. Dan yang seperti sama sekali
tidak dapat disebut sebagai tajdid.
Dalam
Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah
menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang
artinya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini
pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid
(pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR.
Abu Dawud , no. 3740)
Tajdid
yang dimaksud oleh Rasulullah saw
di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti
dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti
sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya
disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama
seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid)
hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban
kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia
dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke
dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara
otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan
baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak
membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau
menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama
Islam. Sama sekali bukan.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya-
dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu
saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya
mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka. Kedua, memberikan
jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman
dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama
sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah
bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu.
Berdasarkan
ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu
mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah,
akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah,
jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
B. Tajdid dalam Muhammadiyah
Seperti
ditulis oleh Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa
Tengah. Persyarikatan Muhammadiyah bertekad makin memperkukuh diri
sebagai gerakan tajdid atau pembaruan. Baik pemikiran maupun gerakan,
sepertinya merupakan karakteristik utama organisasi Islam modern ini.
Alasannya, masyarakat selalu berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu
berkembang maju dan alam sekitar pun mengalami perubahan. Mengapa kita mesti
statis dan konservatif ?
Tentu
kita akan ketinggalan zaman jika kita tidak berpikir dinamis. Maka KH Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sejak awal kiprahnya telah menyerukan kepada umat
Islam di Indonesia agar selalu mengadakan pembaruan dalam pemahaman ajaran
Islam. Ide pembaruan bersumber dari sebuah Hadis yang artinya : “Sesungguhnya
Allah mengutus bagi umat ini pada tiap-tiap penghujung abad seorang yang akan
memperbarui pemahaman agama bagi umat tersebut”. Dari Hadis ini ditarik kesimpulan,
setiap abad akan muncul mujadid (reformer) Islam.
Menurut
paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi
dari satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi.
Yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam ke arah keaslian
dan kemurniannya sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah Al-Maqbulah.
Dalam
pengertian pertama ini diterapkan pada bidang akidah dan ibadah mahdhah.
Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi ( pengembangan ) dalam
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua diterapkan pada
masalah muamalah duniawi.
Tajdid
dalam pengertian ini sangat
diperlukan, terutama setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini
bangsa-bangsa di dunia rnengalami interaksi antarbudaya yang sangat kompleks.
1. Ilmu, Amal, dan Akhlak
Mencermalti jejak KH Ahmad Dahlan, sejak awal
kiprahnya dia sangat mengutamakan pendidikan umat. Dia berobsesi agar umat
Islam menjadi umat yang berilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Mula-mula
dia mendirikan sekolah di rumahnya dan biaya penyelenggaraan pendidikan pun
ditanggungnya sendiri.
Dia sangat mendambakan agar bangsa Indonesia jangan
kalah pandai dibanding dengan bangsa Belanda yang waktu itu sebagai penjajah.
Maka di sekolah Muhammadiyah mulai diajarkan bahasa asing, yaitu Arab, Belanda,
dan Inggris. Kini lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah berkembang luas
di seluruh pelosok Tanah Air.
Sejak muda Ahmad Dahlan dikenal sebagai pemuda yang
suka bekerja keras dan tidak banyak bicara. Sifat ini kemudian diformulasikan
sebagai semboyan organisasi yaitu “Sedikit bicara, banyak bekerja”.
Revitalisasi tajdid sangat diperlukan, dalam
arti kegiatan ditingkatkan, pengengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian
diperluas. Selama ini kajian masih berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu
diperluas untuk membahas masalah aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan
umat manusia secara global, meliputi teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya,
dan isme-isme yang sedang ngetren ( sekularisme, pluralisme, fundamentalisme,
liberalisme) kaitannya dengan bidang agama.
Semboyan ini menjiwai etos kerja warga, sehingga
Muhammadiyah sering diidentikkan sebagai organisasi amal. Tak ada hari tanpa
beramal. Kenyataannya memang demikian, betapa banyaknya amal usaha Muhammadiyah
dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia.
Ahmad Dahlan juga menekankan hendaknya semua warga
menghiasi dirinya dengan akhlakul karimah ( budi pekerti yang luhur ).
Di antaranya masalah keikhlasan dalam mengabdi di organisasi sangat diutamakan,
sehingga muncul semboyan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari
hidup di Muhammadiyah”.
Semboyan ini mengandung arti bahwa warga
Muhammadiyah harus berani berkorban demi kelangsungan hidup organisassinya, dan
jangan sampai ada orang yang bekerja di Muhammadiyah hanya semata-mata untuk
mencari nafkah, apalagi untuk memperkaya diri, melainkan harus didasari dengan
semangat pengabdian untuk mencapai cita-cita dan tujuan organisasi.
Dalam melaksanakan dakwahnya, KH Ahmad Dahlan
menekankan agar umat Islam memiliki keimanan yang benar dan mengerjakan ibadah
dengan cara yang benar pula. Sebab kalau tidak, sia-sialah jerih payah dalam
mengamalkan ajaran agama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang
artinya, “Barang siapa yang mengerjakan ibadah yang tidak ada perintahnya dari
aku, maka tertolaklah ibadahnya”.
Sesuai dengan isi Hadis tersebut, maka Muhammadiyah
menyerukan kepada umat Islam agar menjauhi TBC, singkatan dari takhayul, bid’ah,
dan churafat. Dalam churafat itu terdapat unsur syirik, sehingga
lebih lengkapnya ialah agar umat Islam menjauhi takhayul, bid’ah, churafat,
dan syirik. Inilah bentuk awal dari tajdid yang diserukan oleh KH
Dahlan. Kemudian oleh para pemimpin Muhammadiyah periode berikutnya, pengertian
itu dikembangkan.
2. Pengembangan
Pembaruan diperlukan karena terjadinya perubahan
dalam masyarakat sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai contoh, pada zaman Nabi Muhammad SAW, upaya untuk mencegah kehamilan,
yang menurut istilah sekarang adalah perencanaan keluarga, melalui ‘azl (
coitus interruptus). Pada zaman modern sekarang, berkat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, telah ditemukan metode baru untuk perencanaan
keluarga, seperti : dengan suntikan, pil, kondom, susuk, IUD, vasektomi,
tubektomi, dan lain-lain.
Meski terdapat perubahan dalam metode, namun
prinsip ajaran agama harus selalu diindahkan. Misalnya pemasangan alat
kontrasepsi pada rahim wanita hendaknya dilakukan oleh wanita juga. Sebab pada
prinsipnya pria dilarang melihat aurat wanita, kecuali dalam keadaan darurat.
Pengertian tajdid mengalami pengembangan.
Dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang Desember 1990, antara lain dirumuskan,
tujuan tajdid adalah untuk memfungsikan Islam sebagai furqan (membedakan
antara yang haq dan yang batil), hudan (petunjuk), rahmatan
lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam), mendasari dan membimbing
perkembangan kehidupan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan dimensi tajdid meliputi pemurnian
akidah dan ibadah serta pembentukan akhlak yang mulia; pembentukan sikap hidup
yang dinamis, kreatif, progresif, dan berwawasan masa depan; pengembangan
kepemimpinan, organisasi, dan etos kerja dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Dalam melaksanakannya, kedudukan ilmu pengetahuan
dan teknologi (Iptek) mendapat perhatian khusus. Dalam satu segi Iptek bisa
menimbulkan degradasi harkat dan martabat manusia. Namun dalam segi lain ia
berfungsi positif bagi operasionalisasi dakwah dan tarbiyah serta pencapaian
harkat kemanusiaan yang menjadi tujuan kemerdekaan bangsa.
3. Tantangan Masa Kini
Memasuki abad ke-21, sejalan dengan arus
globalisasi, tantangan terhadap eksistensi agama makin keras. Sebagai contoh,
di Amerika Serikat belum lama ini diadakan jajak pendapat oleh lembaga Haris
Poll. Hasilnya 42% penduduk Amerika Serikat tidak yakin Tuhan benar-benar ada
dan berkuasa atas alam semesta.
Tidak mustahil di antara orang-orang Indonesia yang
belajar di negeri Paman Sam itu ada yang terpengaruh menjadi ateis atau
agnostis, dan merasa bangga dapat meniru pandangan hidup orang modern di negara
adidaya tersebut.
Meniru cara berpikir dan budaya Barat itu bagi
sebagian orang merupakan kebanggaan. Misalnya orang yang dengan getol ingin
terus menerbitkan majalah Playboy di Indonesia. Meski isi majalah
tersebut jelas saru, tetapi mereka beralasan bahwa di negara maju majalah
semacam itu tidak ada masalah, di samping mereka membayangkan akan meraih
keuntungan finansial yang sangat besar.
Berdasarkan contoh kasus tersebut maka revitalisasi
tajdid sangat diperlukan, dalam arti kegiatan ditingkatkan,
pengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian diperluas. Suara yang muncul di
Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang antara lain menyatakan, selama ini kajian
masih berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu diperluas untuk membahas masalah
aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat manusia secara global, meliputi
: teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan isme-isme yang sedang ngetren
seperti : sekularisme, pluralisme, fundamentalisme, liberalisme, dan lain-lain
dalam kaitannya dengan bidang agama.
C. Contoh Tajdid Dalam Muhammadiyah
Kalau
dalam perkembangan pertama sampai pertengahan abad 20 Muhammadiyah berhadapan
dengan persoalan khilafiyah dan pemurnian aqidah, maka pada akhir abad 20
menjelang awal abad 21 organisasi ini sudah berhadapan dengan berbagai
kecenderungan pemikiran di kalangan umat Islam, baik dalam skala nasional maun
internasional. Kecenderungan itu didasarkan asumsi bahwa Islam yang bersumber
kepada Al-Qur’an dan Hadis, difahami oleh umat Islam dengan pemahaman dan cara
pandang yang berbeda. Secara garis besar, kecenderungan untuk memehami ajaran
dasar Islam dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, pertama kelompok
salafi dan kedua kelompok ‘ashrani. Kelompok pertama biasa disebut sebagian
pengamat sebagai kelompok fundamentalis, sedangkan Kelompok yang terakhir dapat
disamakan dengan kelompok Islam Liberalis Kemudian, berdasarkan pembagian itu,
para ahli dan pengamat keislaman mengklasifikasikan aliran pemikiran di
kalangan umat Islam menjadi tiga kelompok, yakni fundamentalis, liberalis dan
moderat.
1.
Fundamentalis
Istilah Fundamentalis yang dihubungkan dengan
penganut ajaran Islam garis keras, sering kita dengar dari sumber informasi
Negara barat. Hal itu terasa lebih popular ketika telah terjadinya serangan 11
september di New York. Kelompok Al-qaida yang dikomandani Usamah bin Laden
termasuk kategori ini. Belakangan diduga ada jaringan yang sangat luas dari
kelompok ini di beberapa wilayah di dunia ini, termasuk di Asia Tenggara, tentu
Indonesia termasuk di dalamnya. Adanya kelompok garis keras Fron Pembela Islam,
yang dipimpin Habib Rizizq Shihab, semakin memperkuat dugaan, bahwa Islam atau
muslim fundamentalis itu identik dengan muslim yang mempunyai faham “garis
keras” itu. Apakah memang benar demikian? Tentu persepsi seperti itu perlu
ditelusuri kebenarannya.
Dalam tradisi kajian Islam, istilah lain dari
fundamentalis adalah salfiy. Kelompok salafi, dari segi bahasa berarti kelompok
yang berorientasi kepada masa lampau atau orang-orang yang terdahulu.
Maksudnya, kelompok ini berusaha memahami ajaran Islam seperti apa yang
difahami oleh Umat Islam generasi awal, termasuk Rasulullah dan para
sahabatnya. Karena itu, apa saja yang tertulis secara harfiah dalam Al-Qur’an
dan Hadis merupakan ajaran yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, atau merupakan
ajaran yang given dari Allah dan Rasul-Nya. Sesuai dengan namanya, kelompok ini
mempunyai ciri dan karakteristik sebagai berikut :
Pertama, Meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadis
merupakan rujukan utama. Al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab. Kemudian Nabi Muhammad
menjelaskan dalam bentuk pernyataan dan praktek beliau. Penjelasan ini
merupakan bagian tak terpisahkan dari dari wahyu Allah itu.
Kedua, Meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan
syariat penyempurna dari syari’at sebelumnya. Oleh karena penyempurna, maka
syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad dipastikan telah sempurna mengatur
berbagai aspek kehidupan, baik yang menyangkut masalah ibadah khusus (ritual),
maupun yang menyangkut masalah kehidupan di dunia ini. Karena itu, harus diacu
secara keseluruhan (kaffah).
Ketiga, Memahami ayat Al-Qur’an dan Hadis secara
tekstual, apa adanya sesuai dengan apa yang dipraktekan oleh Rasulullah dan
sahabatnya. Penafsiran terhadap Al-Qur’an harus dilakukan dengan memahami kosa
kata bahasa ketika Al-Qur’an diturunkan. Dalam banyak hal, penafsiran otentik,
penafsiran ayat dengan ayat lain atau dengan hadis, merupakan ciri dari
kelompok ini.
Keempat, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan normatif. Maksudnya, mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur’an dan Hadis
merupakan sumber hukum yang harus difahami sebagai norma yang mengatur, dan
karena itu, harus ditaati secara keseluruhan. Tentu, mereka tidak mau menerima
pendekatan rasional dan pendekatan historis-sosiologis, sebagaimana yang
dilakukan oleh kelompok islam liberal.
Dari keempat karakteristik di atas dapat difahami,
bahwa kelompok salafi melihat segala persoalan dalam perspektif teks Al-Quran
dan Hadis secara ketat. Mereka selalu berusaha mengadakan purifikasi atau
pemurnian dari tradisi dan tindakan yang menyimpang dari diktum Al-Quran dan
Hadis.
Timbul pertanyaan, apakah mereka mungkin dapat
mengadakan perubahan dan pembaharuan terhadap syariat yang datang dari Tuhan
itu ? Jawabannya sudah dipastikan tidak. Bahkan mereka sering mengibaratkan,
perubahan dalam masyarakat di satu sisi dengan syariat (wahyu) di sisi lain,
seperti orang yang ingin membeli peci. Kepala orang dianggap sama dengan
syariat, sedangkan peci disamakan dengan perubahan masyarakat. Karena itu,
apabila terjadi ketidak cocokan antara ukuran kepala dengan peci, maka yang
harus disesuaikan adalah pecinya, bukan merombak kepalanya. Begitulah kira-kira
tamsil dari betapa kelompok ini berusaha menjaga kemurnian ajaran Al-Qur’an dan
Hadis.
Namun demikian, tidak berarti kelompok ini menolak
perubahan sama sekali. Mereka meyakini bahwa teks suci yang berupa Al-Qur’an
dan Hadis yang mengatur tentang kehidupan duniawi dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu ada ayat yang bersifat pasti (qath’i) dan tidak ada penafsiran lain terhadap
ayat dimaksud; dan ada ayat yang interpretable dan multi tafsir. Dalam kaitan
dengan ayat-ayat jenis pertama tidak ada perubahan dan penafsiran, betapapun
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dalam masalah yang diatur
oleh ayat-ayat jenis kedua dimungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, dan
tentu membawa implikasi perbedaan dalam penerapan aturan itu.
Betapapun adanya potensi perbedaan penafsiran di
kalangan mereka, tapi penafsiran mereka masih terbatas dengan kaidah-kaidah
yang telah dirumuskan oleh ulama terdahulu. Bahkan dalam hal tertentu, mereka
lebih bersifat kaku dalam menafsirkan ayat atau hadis. Itulah sebabnya kelompok
ini disebut orang sebagai kelompok “skripturalis” atau “tekstualis”. Implikasi
dari kecenderungan ini terkadang mereka bersifat ekslusif, menganggap
penafsiran dari kelompoknya yang paling benar, sementara pemahaman orang lain
dianggap salah. Tidak jarang juga menganggap umat Islam yang berbeda dengan
penafsiran kelompoknya dianggap “kafir”.
Di kalangan mereka diintrodusir istilah “bid’ah”
yang dipertentangkan dengan istilah “sunnah”. Istilah ini terutama berkaitan
dengan tatacara beribadah (ibadah mahdlah). Bagi mereka, adat atau kebiasaan
ibadah yang tidak ada landasannya dari Al-Qur’an dan Hadis disebut bid’ah, dan
karena itu dianggap sesat. Konsep bid’ah itu juga memasuki ranah muamalat,
sehingga apa saja yang dilakukan oleh Rasul, tanpa membedakan kedudukan beliau,
harus sepenuhnya diikuti. Tidak heran, kalau dalam penampilan sehari-hari
mereka harus memakai gamis atau jubah, berjenggot tebal dan seterusnya.
Bertitik tolak dari keyakinan dan cara berfikir
kelompok ini, maka banyak pandangan atau gagasan yang dikemukakan mereka
terkesan kembali ke lima belas abad yang lampau. Dalam masalah kenegaraan,
mereka tidak membenarkan wanita menjadi kepala negara. Argumen yang
dikemukakannya adalah ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa “Laki-laki menjadi
pemimpin terhadap wanita”. Tentu mereka tidak berupaya untuk memehami secara
komprehensif apa makna yang sesungguhnya dari ayat tersebut, apa konteks
kalimatnya, apalagi memeahami makana di balik teks itu berupa kondisi sosial
budaya pada masyarakat Arab waktu itu.
Begitu pula masalah hubungan antar umat beragama.
Dalam pandangan mereka, tidak dibenarkan menjadikan orang non muslim sebagai
orang yang menjadi kepercayaan orang muslim, apalagi menjadikan mereka sebagai
pemimpin bagi orang muslim. Memang harus diakui ada ayat yang secara eksplisit
menjelaskan hal itu. Tetapi, lagi-lagi tanpa difahami konteks ayat dan kondisi sosial
yang ada pada waktu itu. Dari beberapa contoh kasus di atas dapat difahami,
betapa konsistennya kelompok ini dalam mengamalkan apa yang tertulis secara
literal dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber ajaran islam ini diyakini
mereka merupakan ajaran yang fundamental dan tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Itulah sebabnya, orang yang di luar kelompok ini, terutama orang barat,
menyebut kelompok mereka sebagai kelompok muslim fundamentalis, bahkan sering
juga disebut sebagai kelompok militan.
Tentu, kita sebagai umat Islam harus memberikan
apresiasi terhadap sikap mereka yang konsisten atau istiqamah dalam menjalankan
apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun dalam waktu yang sama kita
juga harus memperhatikan dan mencermati sumber ajaran Islam dengan menggunakan
penalaran dan analisis yangtidak bertentangan dengan misi Al-Qur’an sebagai
agama yang menjadi rahmat bagi semua umat manusia, di mana pun dan kapan pun
mereka berada
2.
Liberalis
Istilah Islam Liberal merupakan salah satu wacana
dialektis Islam dalam konteks menghadapi kemodernnan. Wacana ini menjadi
penting dan menonjol akhir-akhir ini, ketika dunia Islam terkepung oleh
peradaban dan sains modern yang datang dari barat. Kemunculan Islam liberal
berbeda secara kontras dengan Islam fundamentalis yang menekankan pada tradisi
salaf. Dalam faham liberal, faham fundamentalis hanya akan membawa
keterbelakangan yang akan membawa dunia islam menikmati buah modernitas, berupa
kemajuan ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia. Lebih dari itu, faham ini
meyakini bahwa apabila Islam difahami dengan pendekatan liberal akan menjadi
perintis jalan bagi liberalisme di dunia barat.
Dalam memahami sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan
Al-Sunnah, kelompok ini berusaha untuk menangkap ajaran moral dan bukan aturan-aturan
normatif yang terkandung di dalamnya. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan norma hukum tidak harus difahami apa adanya, melainkan harus
dibawa kepada konteks manusia modern.
3.
Moderat
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kecenderungan pemahaman
umat Islam terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah dibedakan menjadi muslim liberal di
satu sisi dan muslim fundamentalis di sisi yang lain. Diantara kedua aliran dan
kecenderungan ini ada kelompok umat Islam yang memahami kedua sumber itu secara
moderat (tawassuth). Artinya, tidak terlalu bebas, seperti kelompok Islam
liberal dan tidak juga kaku, seperti kelompok Islam fundamentalis.
Kelompok ini melihat persoalan yang muncul saat ini
sebagai sebuah keniscayaan, karena sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an
dan Al-Sunnah , turun dalam situasi yang berbeda dengan apa yang ada saat ini.
Diakui, bahwa kedua sumber itu mempunyai ajaran yang bersifat permanent dan
konstan,, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Ajaran yang masuk kategori ini
umumnya menyangkut masalah akidah (keimanan) dan ibadah ritual (ibadah
mahdlah). Namun ada juga ajaran yang mengalami perkembangan dan penyempurnaan,
seiring degan perkembangan umat Islam. Ajaran Islam kategori ini lebih bersifat
temporer, berubah dan dqapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kelompok ini membuat adagium “al-Nushush mutanahiyah wa al-waqai’ ghairu mutanahiyah”. Artinya, Teks suci, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, bersifat terbatas, sementara kasus dan perstiwa hokum tidak pernah ada batasnya. Bagi mereka, Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus difahami dalam kaitannya dengan perkembangan umat islam yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Secara sosiologis harus diakui bahwa masyarakat berkembang dan tidak statis. Bahkan secara linguistic, bahasa mengalami perubahan sekitar 90 tahun sekali (hampir satu abad). Perubahan ini meniscayakan adanya perubahan dalam pemahaman terhadap norma dasar, Al-Qur’an dan Hadis.
Kelompok ini membuat adagium “al-Nushush mutanahiyah wa al-waqai’ ghairu mutanahiyah”. Artinya, Teks suci, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, bersifat terbatas, sementara kasus dan perstiwa hokum tidak pernah ada batasnya. Bagi mereka, Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus difahami dalam kaitannya dengan perkembangan umat islam yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Secara sosiologis harus diakui bahwa masyarakat berkembang dan tidak statis. Bahkan secara linguistic, bahasa mengalami perubahan sekitar 90 tahun sekali (hampir satu abad). Perubahan ini meniscayakan adanya perubahan dalam pemahaman terhadap norma dasar, Al-Qur’an dan Hadis.
Kelompok ini selalu memperhatikan kepentingan dan
kebutuhan manusia yang selalu berkembang, dengan tetap memperhatikan norma yang
terdapat dalam teks. Selama telah diatur secara qathiy, maka perkembangan dan
kepentingan manusia harus tunduk pada ketentuan teks yang sudah mempunyai nilai
pasti itu.
Karakteristik kelompok moderat: Pertama,
Menggabungkan antara faham salaf dan modernis. Kelompok ini tidak terpaku hanya
pada buku-buku yang ditulis oleh ulama terdahulu, sebagaimana dilakukan oleh
kelompok fundamentalis, melainkan juga memperhatikan perkembangan pemikiran dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada saat ini. Kedua, Mengambil
pendapat para ulama secara selektif, tidak mengikatkan diri dengan mazhab
tertentu. Kelompok ini berusaha untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan
penafsiran genearsi awal, dengan memperhatikan relevansinya dengan kondisi saat
ini. Ketiga, Mendahulukan persoalan yang universal dibandingkan dengan masalah
yang particular. Kelompok ini lebih banyak berbicara masalah yang bersifat
pokok (ushul) ketimbang yang bersifat cabang (furu’) Keempat, Kelompok ini
berusaha untuk menggabungkan arti yang secara harfiah ada dalam teks, tetapi
berusaha juga memahami apa maksud pemberi syariat dibalik teks itu.
Dari empat karakteristik di atas, dapat difahami,
bahwa kelompok ini telah berupaya untuk membedakan antara masalah-masalah yang
prinsipil dan konstan atau permanent di satu pihak dan masalah-masalah yang
tidak prinsipil, berubah dan temporer di sisi yang lain. Mereka memilah ajaran
Islam yang ada menjadi dua kategori, yaitu yang tetap dan berubah. Yang termasuk
prinsipil dan tidak berubah adalah aqidah (keyakinan) , akhlak dan ibadah
mahdlah. Sedangkan dalam masalah muamalah pada umumnya dikategorikan pada
masalah yang bersifat berubah, terutama dalam hal yang bersifat oprasional.
Setelah diaparkan tiga kecenderungan dalam memahami
Al-Qur’an dan Al-Sunnah (Hadis), kelihatannya yang menjadi kecenderungan umum
adalah sikap moderat dalam mengamalkan ajaran Islam. Sikap dan kecenderungan
ini sejalan dengan jiwa dan semangat Al-Qur’an yang menghendaki umat Islam menjadi
umat yang moderat (wasathan). Hal ini dapat dilihat dalam Surat Al-Baqarah ayat
143: “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang
moderat (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”.
Sementara itu Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah
kalian berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang yang
datang sebelum kamu binasa karena sikap mereka yang berlebihan dalam agama”.
Kelihatannya menjadi muslim moderat, bukan saja
sesuai dengan jiwa ajaran Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga mencerminkan
kearifan umat Islam untuk melihat masa sekarang sebagai sebuah kenyataan yang
tidak dapat dihindari, namun tetap dapat mengamalkan ajaran dasar Islam dengan
peneuh keyakinan atas kebenaran ajarannya.
Kelihatannya Muhammadiyah telah faham dan sangat
menyadari adanya wacana pemahaman umat Islam tentang doktrin dan penerapannya.
Kecenderungan di kalangan warga persyarikatan, kalau boleh jujur apa adanya, telah
terbagi menjadi dua arus utama ini. Kelompok Muhammadiyah salafi dalam arti
taat asas kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara literal cukup
banyak penganutnya. Bagi kelompok ini, perubahan masyarakat tidak serta merta
harus mengubah pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sementara kelompok ‘ashroni di kalangan warga
Muhammadiyah tidak kurang banyak juga penganutnya. Tarik menarik antara dua
kelompok kecenderungan ini tidak mustahil akan menimbulkan “ideologi”
keberagamaan baru dalam Muhammadiyah. Mungkin, di tengah pergumulan pemikiran
itu, adanya sikap tawassuth atau moderat akan lebih arif dan penting untuk
disosialisaikan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami
perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru
pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan
ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam
pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian
pada pase kedua sudah mulai terlihat pentingnya menyelesaikan masalah yang sama
sekali baru yang dihadapi umat Islam. Pada pase ini mulai dibahas bahkan
dirumuskan tajdid dalam arti modernisasi dan dinamisasi. Rumusan dan konsep
tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan
dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ini tidak lagi berkutat pada pemurnian
aqidah dan masalah-masalah khilafiyah dalam fikih, tetapi lebih diarahkan pada
ijtihad insya’i. Sedangkan pada pase terakhir, tema tajdid dalam Muhammadiyah
tidak terbatas pada masalah purifikasi dan dinamisasi, tetapi menuju
rekonstruksi dan bahkan dalam batas tertentu melakukan dekonstruksi terhadap
ajaran normatif, menuju ajaran islam yang bersifat historis.
Persoalannya
adalah, apakah semua warga Muhammadiyah, terutama para ulama dan cendikiawannya
setuju dengan tema tajdid pase ketiga ini. Tentu, sesuai dengan karakteristik
persyarikatan yang menghargai pendapat anggotanya, ragam pandangan dalam
merspons persoalan ini tidak dapat dihindari. Kecenderungan fundamentalis sama
kuatnya dengan kecenderungan liberalis. Di balik kedua kecenderungan yang
ekstrim itu, barangkali kecenderungan moderat menjadi pertimbangan kita semua.
B. Saran
Tajdid
atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus
dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran
agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di
masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang
lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang sebenarnya.
Disinilah
peran tajdid harus dikedepankan, karena dengan hadirnya tajdid dari pemikiran –
pemkiran para cendekiawan dan tokoh agama, perubahan – perubahan kehidupan
tetap bisa berjalan sesuai dengan koridor agama Islam yang sesuai dengan Al –
Qur’an dan Hadist.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu-Rabi’, Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in
the Modern Arab World. Albany: State University of New York
Press, 1996.
Auda, Jasser. Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law:
A Systems Approach. London: The International Institute of
Islamic Thought, 1429H/2008 CE.
Bennett, Clinton. Muslims and Modernity: An Introduction to the
Issues and Debates. London: Continuum, 2005.
Bunt, Gary R. Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and
Cyber Islamic Environment. London: Pluto Press, 2003.
Carroll, B. Jill. A Dialogue of Civilizations: Gulen’s Islamic Ideals
and Humanistic Discourse. New Jersey: The Light and the
Gulent Institute, 2007.
El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremist. New York: HerperCollins, 2007.
Esack, Farid. Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford:
Oneworld Publications, 1997.
Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Stanford:
Stanford University Press, 1990.
Hunt, Robert A. & Aslandogan, Yuksel A. (Eds.). Muslim Citizens
of the Globalized World: Contributions of the Gulen Movement. New
Jersey: The Light Publishing, 2007.
Safi, Omit. Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism.
Oxford: Oneworld Publications, 2003.
Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama.
Bandung: Mizan, 2002.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking